Dari Rimba ke Kantor Camat: Perjalanan Panjang Suku Anak Dalam Tebo yang Berujung Kecewa

Table of Contents



Muara Tabir –
Pagi itu, Selasa (12/8/2025), deru kendaraan bermotor dan derap langkah kaki terdengar di pedalaman Kecamatan Muara Tabir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi.

Puluhan warga Suku Anak Dalam (SAD) meninggalkan tempat mereka yang berada di tengah hutan, menuju kantor Camat Muara Tabir, Kabupaten Tebo. 

Tujuannya jelas: merekam data kependudukan agar bisa memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Bagi kebanyakan orang kota, KTP hanyalah selembar kartu plastik yang sering dimasukkan ke dalam dompet. Tapi bagi warga SAD, itu adalah tiket menuju akses pelayanan kesehatan, bantuan sosial, dan pengakuan resmi sebagai warga negara.

“Sudah lama mereka menunggu kesempatan ini. Bahkan ada yang meninggalkan ladang dan perjalanan jauh hanya untuk merekam data,” kata Muhammad, pendamping SAD yang hari itu mendampingi mereka sejak pagi.

Muhammad bercerita, kegiatan ini telah disosialisasikan jauh-jauh hari. Harapannya, tak ada lagi warga SAD yang tertinggal dalam pendataan. 

Bahkan, kata dia, dua anggota kepolisian dari Polsek Muara Tabir, Aipda Anton Aw Pemina dan Ipda Ihdi Syahfalevi, SH, ikut turun langsung ke hutan, menjemput warga SAD agar bisa datang tepat waktu.

Namun, kenyataan di lapangan justru berbanding terbalik. Dari puluhan warga SAD yang datang, hanya 14 orang yang berhasil melakukan perekaman. Sisanya terpaksa pulang dengan wajah lesu kecewa.

“Kasihan, mereka sudah meluangkan waktu, meninggalkan keluarga, dan menempuh perjalanan jauh. Sampai di kantor camat, malah tidak terlayani,” keluh Muhammad, nada suaranya berat.

Bagi warga SAD, pulang tanpa KTP bukan sekedar soal waktu yang terbuang. Itu berarti mimpi mereka untuk mendapatkan BPJS atau pemerintah kembali tertunda.

Muhammad berharap, Pemkab Tebo melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dapat melakukan pendekatan yang lebih maksimal di kemudian hari. 

Menurutnya, pengambilan gambar langsung di lokasi pemukiman SAD, dengan perlengkapan yang memadai, bisa menjadi solusi.

"Mereka ini warga negara juga, punya hak yang sama. Jangan biarkan mereka terus berada di pinggir jalan administrasi negara," tegasnya.

Di tepian hutan, sakit itu, Suka Anak Dalam kembali bergerak pulang. Suara kendaraan terlihat kecewa di wajah mereka. Namun dibalik itu, masih tersisa harapan: suatu hari nanti, perjalanan panjang manis mereka ke kantor pemerintah akan membuahkan hasil — tidak pulang dengan tan gan kosong.***

Posting Komentar