Suara Resah Suku Anak Dalam dari Muara Kilis, Kabupaten Tebo, Khawatir Kebunnya Disita Negara
![]() |
Temenggung Tupang Besak, pemimpin Suku Anak Dalam di Tebo, Jambi. |
Mayoritas kami belum punya surat tanah. Tapi bukan karena kami melawan, kami memang tak tahu caranya. Tempat urusnya saja di mana, kami tak pernah diajarkan
Muara Kilis, Tebo – Pagi itu, Temanggung Tupang Besak duduk bersila saat menunggu istrinya dirawat di RSUD STS Tebo. Di sekelilingnya, sejumlah warga Suku Anak Dalam (SAD) tampak gelisah. Mata mereka menatap kosong karena khawatir kebun sawit yang baru tumbuh beberapa tahun terakhir—kebun yang mereka rawat dengan tangan sendiri, kini terancam disegel oleh negara.
“Kami ini belum lama belajar nak berkebun, Bang. Baru mulai. Tapi sekarang, katanya mau disegel. Terus kami mau makan apa?” suara Temanggung Tupang pelan, tapi bergetar.
Ia adalah tokoh SAD di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Sejak puluhan tahun, komunitasnya tinggal di pinggiran hutan, menggantungkan hidup dari alam.
Kini, mereka berusaha beradaptasi. Belajar bertani, menanam sawit. Tapi justru ketika sedang berjuang mengejar kemandirian, mereka merasa dijegal.
“Kami bukan tidak dukung pemerintah. Kami ini dari dulu selalu patuh. Tapi tolong, jangan samakan kami dengan perusahaan besar,” katanya lirih.
KETIKA SAWIT JADI ANCAMAN
Dalam sepekan terakhir, kabar soal penyegelan kebun oleh Tim Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) ramai terdengar di seantero Tebo. Ribuan hektare lahan sawit milik perusahaan disebut berada di kawasan hutan dan disita negara. Tapi bagi SAD, ketakutan mereka justru lebih nyata: bagaimana kalau kebun kecil mereka ikut tersapu dalam operasi itu?
“Mayoritas kami belum punya surat tanah. Tapi bukan karena kami melawan, kami memang tak tahu caranya. Tempat urusnya saja di mana, kami tak pernah diajarkan,” ujar Temanggung.
Ia menambahkan, tidak ada sosialisasi, tidak ada penjelasan batas-batas wilayah yang masuk kawasan konservasi. Bahkan, kata dia, untuk bertemu camat saja sulit. “Apalagi nak jumpa bupati, gubernur, presiden. Ketemu camat saja sudah susah, Bang.”
“Belum Pernah Merdeka”
Kalimat itu terucap dengan datar, tapi menyimpan kepedihan yang dalam. Temanggung menyebut, Suku Anak Dalam merasa belum pernah benar-benar merdeka. Di masa lalu, mereka hidup berpindah-pindah di hutan. Kini, saat mencoba menetap dan menyesuaikan diri, ruang hidup mereka justru makin sempit.
“Dari dulu kami tidak pernah diberi batas. Tidak pernah diberi tahu ini hutan lindung, ini konservasi. Tiba-tiba pasang plang, terus disegel. Kami jadi bingung. Mau ke mana kami, Bang?”
Menurutnya, sebagian warga SAD tidak tahu menahu soal istilah “kawasan hutan”, “taman nasional”, atau “konservasi”. Mereka hanya tahu, di sanalah mereka hidup. Di sanalah mereka menanam, memanen, dan menyambung hidup.
NEGARA TERLALU JAUH, MASALAH TERLALU DEKAT
Salah satu kegelisahan terbesar SAD di Muara Kilis adalah soal akses terhadap negara. “Kami ini rakyat Indonesia. Tapi kayak bukan bagian dari Indonesia,” ujar seorang warga SAD lainnya.
Ia menceritakan bagaimana tidak pernah ada penyuluhan soal hukum tanah, tidak ada pendampingan legalitas, bahkan sekadar kunjungan dari pejabat kecamatan pun terasa langka.
“Kami ini cuma pengen tahu, tanah yang kami duduki ini legal atau tidak. Kalau tidak, ajari kami supaya jadi legal. Jangan tiba-tiba datang segel, bawa aparat, pasang papan plang.”
Kalau Satgas PKH main segel saja, kami mungkin bakal bertindak. Bukan karena kami melawan, tapi karena kami terpojok
KETAKUTAN JADI LEDAKAN
Temanggung tak menutupi bahwa ancaman penyegelan bisa memicu konflik. Ia dan komunitasnya tidak ingin ribut, tidak ingin melawan hukum, tapi tekanan tanpa penjelasan bisa membuat siapa pun hilang kendali.
“Kalau Satgas PKH main segel saja, kami mungkin bakal bertindak. Bukan karena kami melawan, tapi karena kami terpojok,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah pusat dan daerah segera turun ke lapangan, bukan hanya untuk menegakkan aturan, tapi untuk mendengar dan memahami. “Kalau memang lahan kami salah, tunjukkan. Tapi jangan hukum kami tanpa kami tahu kesalahan kami di mana.”
MASA DEPAN YANG TAK PASTI
Kebun sawit itu masih muda. Sebagian belum sempat dipanen. Tapi untuk warga SAD, kebun itu adalah harapan. Harapan akan hidup yang lebih layak, lebih mandiri, dan tidak terus bergantung dari hasil hutan liar.
“Kami sudah tidak mau hidup nomaden, Bang. Kami ingin bertani, berkebun. Tapi kalau itu pun diambil, lalu kami harus bagaimana?”
![]() |
Satgas PKH saat memasang plang larangan di wilayah Tebo. |
DARI HUTAN KE MEJA KEBIJAKAN
Cerita Suku Anak Dalam di Tebo bukan cerita baru. Tapi sayangnya, masih jarang masuk meja-meja perundingan atau lembar kebijakan. Dalam berbagai program pemerintah, mereka masih kerap hanya dianggap sebagai angka atau objek, bukan subjek.
Temanggung Tupang berharap, sebelum ada tindakan lanjutan dari Satgas PKH, pemerintah terlebih dahulu membuka ruang dialog. “Datanglah ke sini. Duduk bersama kami. Dengarkan kami. Jangan langsung main ambil.”
Hari mulai siang. Temanggung telah bersiap karena dokter telah memperoleh istrinya pulang. “Kami hanya ingin hidup, Bang. Jangan rampas itu dari kami.”
Dalam raut wajahnya, tersimpan satu pesan: suara dari hutan juga ingin didengar.***
Posting Komentar