Korupsi Kredit BNI Rp105 Miliar: Jejak Manipulasi dan Tumbangnya Komisaris PT PAL Oleh Kejati Jambi

Table of Contents
Direktur PT PAL saat ditetapkan tersangka Korupsi oleh Kejati Jambi.

Jambi — Di balik nama besar sebuah perusahaan perkebunan, ternyata tersimpan kisah kelam pengajuan kredit yang sarat manipulasi dan tipu daya. Cerita ini membawa kita pada penahanan BK, Komisaris Utama PT Prosympac Agro Lestari (PT PAL), yang resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi fasilitas kredit Bank BNI senilai Rp105 miliar.

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi, lewat Tim Penyidik Tindak Pidana Khusus, menetapkan dan menahan BK pada Senin, 22 Juli 2025. Pria yang selama ini dikenal sebagai sosok di balik kemudi korporasi itu, kini harus menginjakkan kaki di balik jeruji besi, tepatnya di Rumah Tahanan Lapas Kelas IIA Jambi. Ia ditahan untuk 20 hari ke depan, hingga 10 Agustus 2025.

“Penahanan dilakukan karena penyidik telah memperoleh bukti permulaan yang cukup,” ujar Kepala Kejati Jambi, Dr. Hermon Dekristo, S.H., M.H., dalam keterangannya.

BK bukan nama pertama dalam pusaran kasus ini. Sebelumnya, tiga nama lain—WE, VG, dan RG—telah lebih dahulu dijebloskan ke tahanan. Namun penahanan BK membuka lembaran baru dari perkara ini: bahwa tidak hanya pelaksana teknis, tapi pucuk pimpinan perusahaan pun turut diduga menyusun skenario jahat ini sejak awal.

Manipulasi di Balik Meja Kredit

Kisah bermula pada 2018–2019, ketika PT PAL mengajukan fasilitas Kredit Investasi dan Kredit Modal Kerja ke Bank BNI. Di atas kertas, semuanya tampak sah dan meyakinkan. Proposal pengajuan, rencana bisnis, dan dokumen pendukung lainnya dikemas dengan rapi. Namun, di balik itu, penyidik menemukan sesuatu yang berbeda: jejak manipulasi data dan dokumen yang sistematis.

Diduga, kredit yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan kegiatan usaha perkebunan, ternyata justru mengalir entah ke mana. Sebagian besar dana digunakan tidak sesuai peruntukannya. Bahkan, sejumlah laporan keuangan dan aset agunan yang diajukan diduga fiktif.

“BK diduga sebagai pemegang saham yang mengetahui dan turut terlibat aktif dalam proses permufakatan tersebut,” ungkap Hermon.

Bukan sekadar lalai atau kecolongan, BK diduga ikut serta dalam skema rekayasa dokumen yang menjadi dasar pencairan dana besar tersebut. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp105 miliar.

Pasal Berlapis dan Ancaman Berat

BK disangkakan dengan pasal-pasal berat dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secara primair, ia dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Secara subsidair, ia dikenai Pasal 3 jo Pasal 18 dari UU yang sama, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal-pasal ini secara umum menjerat pelaku korupsi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga miliaran rupiah. BK pun kini berada dalam cengkeraman hukum, menanti proses selanjutnya dari penyidik.

Skandal yang Mengguncang

Kasus ini menjadi salah satu skandal korupsi sektor perbankan yang kembali mengingatkan publik pada pentingnya transparansi dalam pemberian kredit, terutama yang melibatkan nominal besar dan proyek-proyek bernuansa korporasi.

Pihak Kejati Jambi menegaskan bahwa proses hukum akan dijalankan secara profesional dan transparan. Mereka juga terus mendalami kemungkinan adanya aktor lain, baik dari pihak perusahaan maupun lembaga perbankan yang mungkin turut bertanggung jawab.

“Penyidikan belum selesai. Kami masih terus telusuri aliran dana, siapa saja yang terlibat, dan bagaimana modus ini bisa lolos dalam sistem perbankan,” tegas salah satu penyidik.

Epilog: Di Antara Fakta dan Praduga

Kasus ini belum sepenuhnya rampung. Penyidik masih bekerja, saksi masih diperiksa, dan berkas perkara masih disusun. Namun satu hal yang pasti: dari balik meja-meja rapat dan proposal bisnis, bisa saja tersembunyi praktik licik yang berujung pada kerugian besar bagi negara.

BK, yang selama ini berdiri di jajaran tertinggi perusahaan, kini harus menghadapi hukum sebagai tersangka korupsi. Di tengah proses yang berjalan, asas praduga tak bersalah tetap dijunjung tinggi.

Namun publik menanti: keadilan harus ditegakkan, dan pelajaran dari kasus ini harus menjadi alarm bagi dunia usaha dan perbankan—bahwa integritas tidak bisa ditukar dengan angka-angka dalam proposal yang gemerlap.***

Posting Komentar