Ketika Pemuda Angkat Suara: Sorotan Tajam Dunia Pendidikan Tebo

Table of Contents
Surat APAT untuk Kajari Tebo.

Oleh Redaksi NegeriJambi.Com

Di tengah geliat pembangunan dan geliat reformasi di berbagai sektor, dunia pendidikan di Kabupaten Tebo justru kembali dihantui isu klasik: dugaan penyimpangan. Kali ini, bukan hanya dari bisik-bisik warga atau desas-desus media sosial, tapi datang dari sebuah gerakan yang menamakan diri mereka Aliansi Pemuda Asal Tebo (APAT).

_____________________________

Pada awal Juli 2025, APAT melayangkan surat resmi kepada Kejaksaan Negeri Tebo. Isi surat itu tidak main-main—mereka mempertanyakan progres penanganan dua dugaan serius: manipulasi dalam seleksi PPPK tahun 2022–2023 dan pemotongan serta penyalahgunaan dana bantuan pendidikan seperti PIP, BOS, dan dana komite sekolah.

Nama Rio Andika, Ketua APAT, kini mulai menjadi sorotan. Dalam pernyataan tertulisnya, ia menegaskan bahwa pemuda Tebo tak ingin diam di tengah potensi ketidakadilan yang menghantam generasi penerus. “Kami ingin tahu apakah ada perkembangan signifikan. Ini bukan hanya soal angka—tapi soal hak anak-anak kami untuk mendapatkan pendidikan yang bersih,” kata Rio.

Menurut Rio, dugaan potongan dana Program Indonesia Pintar (PIP) di beberapa sekolah bukan sekadar pelanggaran administratif. “Itu bantuan untuk siswa tidak mampu, potongannya mungkin kecil di mata oknum, tapi besar artinya bagi mereka yang menerimanya,” ujar dia.

Bukan hanya soal PIP. APAT juga menyuarakan kecurigaan masyarakat terhadap proses seleksi PPPK dua tahun terakhir. Mereka menduga ada praktik manipulasi nilai dan intervensi dalam penempatan. Bahkan beberapa nama yang lulus diduga kuat tidak sesuai kualifikasi.

Menanggapi ini, Kepala Kejaksaan Negeri Tebo, Ridwan Ismawanta, memberikan tanggapan hati-hati namun terbuka. Ia membenarkan adanya temuan pemotongan dana PIP, walau dengan nilai kecil. “Kalau kecil bukan berarti dibenarkan. Prinsip kami, akan dikembalikan ke kas daerah,” ujar Ridwan.

Ia juga menambahkan bahwa jika sekolah berada di bawah naungan provinsi, maka proses pengembalian akan diarahkan ke Pemprov Jambi. Sementara untuk sekolah yang berada di bawah kabupaten, menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Mengenai dana BOS dan komite, Ridwan menegaskan bahwa Kejari masih dalam proses klarifikasi dan pengumpulan bukti. Pihak sekolah yang terkait akan dipanggil bila indikasi penyimpangan semakin menguat. “Kami tidak serta-merta menyimpulkan. Kami teliti, tetapi tegas,” katanya.

Yang menarik, meskipun lembaga penegak hukum menyatakan akan menindaklanjuti, APAT justru menyatakan tidak akan berhenti pada satu surat. Mereka berkomitmen untuk terus mengawal proses hukum hingga benar-benar transparan dan berujung pada keadilan.

“Kami akan terus bersurat. Kalau perlu, kami kirim laporan ke Ombudsman dan KPK. Kami ingin efek jera,” tegas Rio.

Langkah APAT ini mendapat respons beragam dari masyarakat. Sebagian besar mendukung, menyebut gerakan ini sebagai bentuk kontrol sipil terhadap aparat dan sistem pendidikan. Di sisi lain, ada pula pihak yang menyayangkan jika gerakan ini dianggap tendensius atau tanpa data yang solid.

Namun satu hal yang tak bisa dipungkiri: suara pemuda kini tak lagi sekadar suara jalanan. Mereka mulai menyusun narasi, menempuh jalur resmi, dan menuntut transparansi melalui mekanisme hukum. Ini sebuah transformasi.

Kasus ini belum selesai. Bahkan belum sepenuhnya terkuak. Tapi langkah awal sudah diambil. Ketika pemuda tak hanya menonton, tapi mengawasi—itulah pertanda bahwa demokrasi lokal masih bernyawa.

Di Kabupaten Tebo, barangkali yang diuji bukan cuma kepala sekolah atau panitia PPPK. Tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang seharusnya mendidik, bukan menindas. Dan di balik semua itu, Aliansi Pemuda Tebo telah menyalakan sumbu keberanian.***

Posting Komentar