Anak Tebo Tak Butuh Spanduk, Tapi Taman yang Nyaman Dan Aman

Table of Contents

Sport Center dibangun dengan harapan menjadi ruang publik yang layak. Kini, hanya tempat spanduk.

NegeriJambi.com – Di sebuah sudut kawasan Stadion Sri Maharaja Batu, berdiri selembar spanduk yang mencuri perhatian. Bertuliskan “Ruang Bermain Ramah Anak Sport Center”, kain itu membentang di pinggir taman yang selama ini nyaris dilupakan.

Tanaman liar baru saja ditebas, rumput masih tumbuh acak, dan saluran drainase besar menganga tanpa pembatas di kiri dan kanan taman. 

Aneh? Mungkin. Tapi inilah realita yang membuat warga geleng-geleng kepala.

Taman yang dulunya digadang-gadang sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan pusat kegiatan publik, telah bertahun-tahun menjadi tempat yang sunyi dan kumuh. 

Bangku-bangku besi sudah berkarat dan juga ada yang hilang, sebagian permainan anak-anak lenyap entah ke mana, dan rerumputan liar menguasai sebagian besar lahan. Hingga tiba-tiba, datanglah spanduk itu, seolah menyihir taman yang sepi menjadi taman yang ramah anak.

“Hebat. Pemkab memang berbakat jadi pesulap,” ujar seorang warga dengan nada sinis. Ia enggan disebut namanya, tapi ekspresinya cukup mewakili suara banyak orang yang menyaksikan perubahan “instan” ini. 

Baginya, spanduk itu bukanlah simbol pembaruan, melainkan kamuflase dari sesuatu yang belum selesai.

Warga lain menduga pemasangan spanduk tersebut tak lepas dari kepentingan sesaat. “Biasanya kalau ada spanduk begini, pasti karena ada lomba atau kunjungan pejabat. Biar kelihatan hidup. Padahal, taman ini sudah mati lama,” kata seorang ibu rumah tangga sambil menunjuk drainase besar yang tak diberi pagar pembatas. “Bayangkan kalau anak kecil jatuh ke situ.”

Ruang Bermain Ramah Anak, seharusnya menjadi tempat di mana anak merasa aman, bebas berkreasi, dan dekat dengan alam. Tapi bagaimana bisa anak-anak bermain dengan tenang jika sisi kanan dan kiri taman justru dihiasi saluran air dalam tanpa pengaman? Satu langkah keliru bisa berujung pada bencana.

Rudi, warga sekitar yang hampir setiap pagi melintasi taman itu, merasa heran dengan proses “sulap” ini. “Kemarin-kemarin rumput dibiarkan liar, sekarang ditebas buru-buru, terus pasang spanduk. Kalau niat betul membangun, kenapa enggak dari dulu dibenahi pelan-pelan?” katanya sambil mengamati lokasi yang masih tampak seadanya.

Ironi ini kian terasa saat mengingat bahwa taman tersebut dibangun dengan anggaran miliaran rupiah dari uang rakyat. Tapi apa yang tersisa dari dana sebesar itu? Sisa bangunan setengah jadi, saluran drainase terbuka, dan sekarang — sebuah spanduk yang lebih banyak menimbulkan pertanyaan daripada jawaban.

Seorang pemuda yang sering bermain bola di stadion menyebut bahwa taman itu hanya ramai saat awal proyek dulu. “Setelah itu, sepi, ditinggal. Baru sekarang disulap lagi. Kami yang tiap hari lewat, tahu persis kondisinya,” ujarnya.

Taman seharusnya menjadi ruang tumbuh. Tapi di Tebo, taman ini justru menjadi ruang sunyi — hingga politik atau lomba datang membangunkannya sejenak. Lalu tidur kembali, menunggu giliran disulap lagi. Dan anak-anak? Mereka tetap bermain di jalanan, di lapangan tanah, atau di ruang digital yang lebih menjanjikan imajinasi daripada taman yang ada di depan mata.

Warga berharap taman ini benar-benar dijadikan ruang publik yang layak, bukan sekadar dekorasi administratif. Mereka menunggu tindakan nyata, bukan cat ulang dan kain promosi. “Taman itu harus hidup. Bukan hanya saat ada yang mau dinilai,” ucap Rini, ibu dari dua anak kecil.

Taman Sport Center ini bukan sekadar simbol keindahan kota, tapi juga cerminan keseriusan pemerintah dalam membangun ruang yang manusiawi. Jika spanduk bisa dipasang dalam semalam, maka memperbaiki taman seharusnya bisa dilakukan dalam waktu yang lebih masuk akal — asalkan memang ada niat.

Kini, bola ada di tangan Pemkab Tebo. Apakah mereka benar-benar ingin membangun taman yang ramah anak? Atau hanya ingin menenangkan kritik dengan secarik kain bertuliskan janji yang belum ditepati?***

Posting Komentar